Jangan Menunda Pernikahan Dengan Alasan Pendidikan Atau Usia Masih Muda
Di antara kesalahan besar yang sering dilakukan oleh para wanita adalah menolak peminang dengan alasan menyelesaikan pendidikan. Terkadang, ia dipinang oleh pemuda yang taat beragama, namun ia lebih mendahulukan pendidikannya.
Keadaan seperti ini terus berlanjut, hingga sampai pada fase perawan tua. Saat itulah ia menginginkan laki-laki yang masih muda. Ia menyesali diri saat ia mendengar seorang bocah memanggil ibunya, “Ummi…”
Berikut kami sampaikan sebuah kisah agar Anda dapat mengetahui nilai sebuah kehidupan berkeluarga bagi kaum wanita.
Salah seorang wanita bertutur penuh penyesalan diri, “Pada saat aku berumur 15 tahun, banyak laki-laki yang mendatangiku dari berbagai penjuru tempat untuk meminang. Aku menolak mereka dengan alasan aku ingin menjadi dokter. Akhirnya, aku pun masuk ke sebuah universitas dan menolak menikah dengan alasan aku ingin bisa mengenakan jas putih (sebuah gambaran seorang dokter). Hingga aku berusia tiga puluh tahun. Pada saat itulah, banyak laki-laki yang melamarku, namun mereka adalah orang-orang yang beristri. Maka, aku pun menolaknya. Setelah mengalami jerih payah dan susah tidur, aku membatin, ‘Bagaimana mungkin aku menikah dengan seorang laki-laki yang telah beristri? Aku memiliki harta, nasab dan ijazah tinggi, lantas bagaimana mungkin aku menikah dengan seseorang yang telah menikah?”
Subhanallah, wanita yang malang ini lupa bahwa usia tiga puluh tahun itu tidak diminati oleh para pemuda lantaran banyak faktor. Karena itu, ia berfikir untuk tidak menerima lamaran laki-laki yang telah menikah dan mengatakan kata-kata tersebut. Akhirnya, sesudah sampai pada usia empat puluh tahun, wanita itu berkata, “Berikanlah kepadaku laki-laki setengah baya.”
Dr. Nashir Al-Umar –hafizahullah– telah menceritakan kepada kami, sebagaimana yang tertera dalam risalah As-Sa’adah bainal Wahm wal Haqiqah, mengenai seorang perawan tua yang berprofesi sebagai dokter, dimana ia berteriak-teriak seraya mengatakan, “Ambillah ijazahku dan berilah aku seorang suami.” Ia mengucapkannya pada pukul 7 setiap harinya.
Wanita tadi menuturkan, “Suatu waktu yang membuat diriku gusar dan membuat air mataku menetes. Mengapa? Aku duduk di belakang sopir dalam perjalanan menuju tempat praktekku. Atau, lebih tepatnya kuburanku atau penjaraku. Aku mendapati para wanita beserta anak-anak mereka yang sedang menantiku dan memandangi baju putihku, seakan-akan ia adalah kain sutera dari Iran, padahal menurutku ia adalah pakaian berkabungku. Aku masuk ke ruang praktekku sembari mengendalikan pendengaranku yang seakan-akan ia adalah tali gantungan yang melilit di sekitar leherku. Dan sekarang, lilitan ketiga itu telah siap untuk menyempurnakan lilitannya di sekitar leherku. Sikap pesimis membayangi diriku di masa mendatang.”
Lantas, ia menjerit, “Ambillah ijazahku, jasku, seluruh buku-buku referensiku, dan harta kekayaanku. Perdengarkan kepadaku kata-kata, ‘Mama!’” Kemudian, ia mengucapkan bait-bait syair berikut:
Aku telah berharap disebut ‘dokter’
Dan itu telah terwujud, namun aku tak memperoleh apapun dari sebutan itu
Katakanlah kepada wanita yang (hanya) melihat kepada popularitasnya
Hari ini ia di tengah-tengah manusia sedang menyesali dirinya
Seluruh angan-angan sebagian anak kecil ia kumpulkan
Namun, mungkinkah ia membelinya dengan hartanya
Sumber: muslimah.or.id
Sumber islamidia.com http://ift.tt/2f8Tkfh
Post a Comment