Makna dan Pengertian ‘Ummi’ Bagi Nabi Muhammad
Arti Ummi secara Bahasa dan Istilah
Makna Ummi Bagi Rasulullah SAW – Dari sisi bahasa, kata ummi ini mempunyai banyak arti. Hal ini dapat kita lihat ketika Allah mengungkapkan kata ummi dalam al-Qur’a’n. Dalam al-Qur’a’n, kata ummi ini tidak hanya ditujukan kepada Nabi Muhammad SAW saja, tetapi juga kepada masyarakat Arab, dan kaum Yahudi.
Kata Ummi, jamaknya ummiyyun (ummiyyin) artinya orang yang buta huruf, tiada tahu tulis baca.
Secara istilah, ummi adalah ketidaktahuan baca dan tulis bagi Nabi sebagai salah satu mukjizatnya.
Banyak ahli tafsir yang mengartikan ummi dengan buta huruf, tetapi beberapa ahli tafsir lainnya berpendapat bahwa ummi bukan berarti buta huruf, melainkan diartikan sebagai orang yang tidak mendapat al-Kitab, dan orang yang tidak cakap menulis.
Term ummi terdapat dalam al-Qur’an Q.S. Al-A’raf (7) : 157 dan 158, yaitu nabiyyi al-Ummiyy (nabi yang tidak tahu membaca dan menulis), sedang istilah ummiyyin/ummiyyundapat ditemukan dalam QS. Al-Baqarah (2): 78, QS. Ali ‘imran (3): 20 dan 75 serta QS. Al-Jumu’ah (62): 2. Adapun yang dimaksud dengan ummiyyin adalah orang-orang yang tidak tahu membaca dan menulis. Kebanyakan orang-orang Arab pada masa Rosulullah saw. berkeadaan demikian.
Pendapat Ulama’ Tafsir terhadap “Ummi” Makna Ummi Bagi Rasulullah SAW
Makna Ummi Bagi Rasulullah SAW – Dalam al-Qur’an kata ummi beserta turunannya diulang dalam al-Qur’a>n sebanyak enam kali. Dua dalam bentuk tunggal, yaitu pada surat al-A’raf ayat 157 dan 158 (keduanya diturunkan di Mekah):
Empat lainnya dalam bentuk jamak, yaitu pada surat al-Baqarah ayat 78, surat Ali Imran ayat 20 dan 75, serta surat al-Jumu’ah ayat 2 (keempatnya diturunkan di Madinah) di bawah ini:
Menurut para mufassir, bentuk tunggal ummi ditujukan kepada Nabi Muhammad SAW dengan diperkuat oleh sabda Nabi sendiri:
“Sesungguhnya kita adalah umat yang ummi, tidak pandai membaca dan berhitung”.
Adapun dalam bentuk jamak yang terdapat pada surat Ali Imran ayat 20 dan 75 dan surat al-Jumu’ah ayat 2 ditujukan kepada masyarakat Arab, sedangkan bentuk jamak yang terdapat pada surat al-Baqarah ayat 78 ditujukan kepada sekelompok Yahudi. Dengan demikian, dalam konteks al-Qur’an, kata ummi ditujukan kepada tiga obyek di atas.
Sebagaimana disebutkan di muka, para mufassir tidak sepakat dalam menjelaskan kataummi. Di antara mereka ada yang mendefinisikannya sebagai buta huruf seperti dikemukakan oleh Rashid Rid}a dan al-T{abat}aba’i. Pendapat mereka diperkuat oleh penulis kamus berbahasa Arab seperti Lisan al-‘Arab yang disusun oleh Muhammad ibn Mansur.
Meskipun demikian, kata ummi dalam literatur tafsir tidak hanya memiliki satu arti di atas. Ada beberapa riwayat yang mendefinisikannya secara berlainan.
Al-Qasimi umpamanya, menafsirkan kata ummiyyin pada surat Ali Imran ayat 20 sebagai “kelompok yang tidak memiliki kitab suci” (la kitaba lahum).
Definisi-definisi lainnya dikemukakan oleh al-T{abari. Ia mengutip pendapat Ibrahim (dari Mansyur, dari Sufyan, dari Ibn Mubarak, dari Suwaid bin Nashr, dari al-Mutsanna) yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan ummi adalah “orang yang tidak cakap menulis” (مَنْ لاَيَحْسَنْ أَنْ يَكْتُبَ). Ibnu Zaid mendefinisikannya sebagai “orang yang tidak membaca al-kitab”. Ada riwayat lain berasal dari Ibnu ‘Abbas yang menjelaskan bahwa maksud kata ummi dalam al-Qur’a>n yang berbentuk jamak adalah “sekelompok orang yang tidak membenarkan utusan Allah dan kitab yang dibawanya”.
Al-Tabari sendiri, dengan mengutip pendapat al-Nakha’i, menjelaskan ummi dengan “orang yang tidak cakap menulis”.
Bahwa Rasul saw. adalah seorang ummi merupakan salah satu bukti kerasulan beliau dalam konteks ini al-Qur’an menegaskan: QS. Al-Ankabut (29): 48. Betapa tidak, pasti akan ada yang berkata bahwa ayat-ayat al-Qur’an yang beliau sampaikan, yang redaksi dan isinya sangat mengagumkan itu serta mengungkap banyak hal-hal yang tidak dikenal pada masanya adalah hasil bacaan beliau.
Argumen untuk dapat tidaknya Rasul Membaca dan Menulis (ummi), Makna Ummi Bagi Rasulullah SAW
1) Tidak Bisa Baca Tulis
Makna Ummi Bagi Rasulullah SAW – Dan kamu tidak pernah membaca sebelumnya (Al Quran) sesuatu Kitabpun dan kamu tidak (pernah) menulis suatu Kitab dengan tangan kananmu; Andaikata (kamu pernah membaca dan menulis), benar-benar ragulah orang yang mengingkari (mu). (Q.S. al-Ankabut [29]: 48).
Ayatnya sangat jelas mengatakan bahwa beliau memang tidak pernah membaca dan tidak pernah menulis. Sehingga tidak ada alasan sedikit pun bagi kita untuk meragukannya. Allah menjamin bahwa di dalam al-Qur’an ini memang tidak ada keraguan sedikit pun tentang kebenaran informasinya. (Lihat Q.S. al-Baqarah [2]: 2).
Di ayat lain, Rasul Allah bahkan disuruh Allah untuk mengatakan bahwa dirinya memang benar-benar ummi. Yaitu buta huruf dan tidak kenal tulis menulis.
Katakanlah: “Hai manusia Sesungguhnya Aku adalah utusan Allah kepadamu semua, yaitu Allah yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, yang menghidupkan dan mematikan, Maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya) dan ikutilah Dia, supaya kamu mendapat petunjuk“.(Q.S. al-A’raf [7]: 158).
Ayat lain menjelaskan dalam surat al-Baqarah ayat 78:
Dan diantara mereka ada yang buta huruf, tidak mengetahui Al-Kitab (Taurat), kecuali dongengan bohong belaka dan mereka hanya menduga-duga.
Ayat ini menggambarkan bahwa orang yang disebut ummi itu adalah orang yang tidak tahu al-kitab alias lembaran-lembaran bertulis. Yang untuk memahaminya, seorang mesti menguasai kemampuan membaca.
Dengan kata lain, orang yang disebut ummi adalah orang yang tidak bisa membaca. Cara memperoleh informasinya tidak lewat tulisan tetapi lewat lisan saja. Dalam istilah ayat di atas disebut sebagai ‘dongeng’ dari mulut ke mulut.
Karena itu tidak heran di ayat-ayat lain digambarkan, ketika disampaikan bukti kebenaran secara tertulis berupa al-Qur’a>n, orang-orang ummi itu sulit menerimanya. Dan dengan gampang mengatakan bahwa itu hanyalah kebohongan yang diada-adakan.
Dalam al-Qur’an disebutkan kedatangan seorang Nabi yang ummi (Muhammad saw) didapati di dalam kitab Taurat dan Injil. Nabi Muhammad saw diutus dalam bangsa ummi(Arab), bukan hanya untuk bangsa Arab saja, melainkan untuk segenap bangsa, biarpun sebelumnya ada yang belum pernah berhubungan dengan bangsa Arab.
Juga disebutkan sikap bangsa Yahudi yang mengatakan tidak perlu bertanggung jawab dan bersikap jujur terhadap bangsa ummi maksudnya ialah bangsa Arab dan bangsa-bangsa yang bukan Yahudi. Diterangkan pula bahwa di antara orang-orang keturunan ahli kitab itu ada yang ummi, tidak tahu membaca dan hanya yang diketahuinya cerita-cerita dongeng dan harapan kosong.
2) Perintah untuk Membaca
Jadi, Benarlah Muhammad adalah seorang yang ummi -buta huruf- alias tidak bisa baca tulis. Semua itu, ternyata disengaja oleh Allah untuk melancarkan misi kerasulan beliau. Agar tidak ada alasan bagi orang-orang kafir untuk tidak memercayai al-Qur’an sebagai kitab suci yang datang dari Allah.
Tapi, apakah nabi Muhammad ummi seterusnya? Ternyata tidak. Ummi itu adalah di masa-masa ketika beliau belum diangkat menjadi rasul. Semuanya jadi berubah, semenjak beliau diangkat menjadi rasul dengan turunnya wahyu pertama di gua hira’. Muhammad berangsur-angsur diajari baca tulis oleh Allah, yang kemudian mengantarkannya menjadi ilmuwan yang sangat jenius.
- Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan,
- Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah.
- Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah.
- Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam.
- Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.
Seorang yang jelas-jelas ummi, memperoleh wahyu pertamanya justru disuruh membaca! Apakah makna yang ada di balik semua itu? Hanya satu: Rosulullah saw. diajari membaca. Kenapa? Karena, berangsur-angsur beliau akan memperoleh wahyu yang kelak akan dihimpun menjadi sebuah kitab suci: Al-Qur’an.
3) Diajari Menulis dengan Pena
Makna Ummi Bagi Rasulullah SAW – Bukan hanya diajari membaca, Nabi pun diajari menulis dengan pena oleh Allah. Di wahyu pertama Allah sudah mengindikasikan bahwa Allah mengajari manusia dengan perantaraan pena. Ternyata, itu dilanjutkan di wahyu kedua yang awalnya dimulai dengan ayat pena.
Apakah kaitannya antara kegiatan ‘tulis menulis menggunakan pena’ dengan anggapan terhadap Muhammad yang diolok-olok gila? Pada zaman itu sangatlah erat. Di kalangan kaum yang ummi, belajar membaca dan menulis sangatlah dilecehkan.
Kebiasaan orang-orang Arab Quraysh pada waktu itu lebih mengandalkan daya ingat dalam mencatat berbagai peristiwa. Termasuk untuk berpidato dan bersyair. Kegiatan tulis menulis kurang dihargai, karena seakan-akan menunjukkan kelemahan. Bahwa ia adalah orang yang berdaya ingat lemah, sehingga membutuhkan media tulisan.
Allah mengubah kebiasaan orang Arab jahiliyah itu secara frontal. Di wahyu pertama Allah memerintahkan nabi untuk membaca, sedangkan di wahyu kedua Allah bersumpah dengan menyebut pena, dan apa yang dituliskannya. Sungguh ini sebuah revolusi terhadap peradaban jahiliyah. Dan kemudian menjadi dasar yang kokoh bagi peradaban modern sampai akhir zaman.
Allah menepis olok-olok mereka dengan janji bahwa kelak mereka akan melihat, bukan Muhammad yang gila, tetapi orang-orang yang tidak mengikutinya itulah yang ‘gila’. Karena terbukti kemudian, di zaman-zaman selanjutnya keahlian baca tulis menjadi tulang punggung peradaban modern.
4) Nabi Buta Huruf Mengajarkan al Kitab
Kontroversi terbesar dalam memahami ke-ummi-an Nabi adalah kenyataan bahwa beliau bisa mengajarkan al-Kitab. Bagaimana mungkin seorang yang buta huruf bisa mengajarkan tulisan-tulisan yang terdapat dalam suatu kitab?
Sejak beberapa saat setelah turunnya wahyu pertama, Rosulullah sudah mulai memerintahkan Ali bin Abi Thalib untuk menuliskan ayat-ayat Qur’an itu di pelepah kurma, batu, atau tulang dan kulit unta.
Tentu saja kita bisa membayangkan, tidak mungkin Nabi memercayakan begitu saja penulisan wahyu itu kepada orang lain, tanpa beliau sendiri mengeceknya.
Jadi, sebenarnya saat itu beliau sudah bisa membaca, meskipun belum terampil menuliskannya. Beliau sudah bisa melakukan cross-check terhadap catan-catatan Ali bin Abi Thalib. Bukan hanya pada bacaannya, melainkan pada tulisannya. Kemampuan nabi terus berkembang seiring dengan proses pewahyuan.
5) Jawaban bagi yang Ragu
Makna Ummi Bagi Rasulullah SAW – Pertanyaan yang menggelitik kita adalah: kenapa Nabi mesti buta huruf? Bukankah sangat mudah bagi Allah untuk memilih dan menyiapkan nabi yang tidak buta huruf? Yang sudah memiliki kemampuan paripurna sehingga tidak diejek dan dilecehkan oleh orang-orang kafir, Nabi yang datang dengan membawa mukjizat seperti nabi Musa, nabi Sulaiman, Nabi Yusuf, dan Nabi Isa. Pokoknya nabi yang memiliki segala persyaratan seperti yang di inginkan orang-orang yang menentangnya.
Dan apabila mereka melihat kamu (Muhammad), mereka hanyalah menjadikan kamu sebagai ejekan (dengan mengatakan): “Inikah orangnya yang di utus Allah sebagai Rasul? (Q.S. al-Furqan [25]: 41).
Nabi Muhammad dianggap sebagai Nabi yang tidak memenuhi persyaratan sebagai seorang Rasul. Para ahli kitab membandingkannya dengan Nabi Isa yang memiliki mukjizat hebat: bisa menghidupkan orang mati. Demikian pula Nabi Musa yang memiliki tongkat yang bisa menjadi ular dan membelah lautan. Nabi Muhammad justru dikenal sebagai orang yang ummi, tak bisa baca tulis, dan berasal dari kaum yang ummi yang jauh dari kemajuan peradaban.
(rangkuman)Kalaupun kemudian orang-orang kafir itu tetap tidak percaya kepada nabi Muhammad sebagai rasul, maka Allah mengingatkan bahwa rasul-rasul terdahulu pun diperlakukan begitu oleh kaumnya. Karena itu, sekali lagi Allah mengingatkan untuk tidak ragu. Allah telah menurunkan al Qur’an, kitab yang paling sempurna kepada beliau. Dan akan mengazab siapa saja yang mengkafirinya. (makalah)
Terkesan ada kebingungan di antara orang-orang kafir itu. Di satu sisi mereka mengejek Nabi sebagai orang yang tidak bisa baca tulis, akan tetapi mereka juga heran kepada Nabi bisa mengajarkan isi al-Qur’an yang menurut mereka memiliki kualitas sastra yang demikian tinggi. Karena itu, mereka sempat menyebut Rasulullah sebagai penyair.
Tapi kemudian mereka membantahnya sendiri. Bahwa, tidak mungkin Muhammad bisa membuat syair-syair sebagus itu. Mereka lantas menuduh Nabi dibantu oleh orang lain. Tetapi, Allah membantahnya dengan ayat-ayat Qur’an, bahwa itu tidak benar.
Bahkan, bukan hanya memberikan argumentasi yang logis, Allah juga menantang mereka untuk membuat kitab semacam al-Qur’an. Tidak usah seluruhnya, cukup sebagian saja. Dalam ayat ini Allah menantang mereka untuk membuat sepuluh surat saja.
Bahkan mereka mengatakan: “Muhammad Telah membuat-buat Al Quran itu”, Katakanlah: “(Kalau demikian), Maka datangkanlah sepuluh surat-surat yang dibuat-buat yang menyamainya, dan panggillah orang-orang yang kamu sanggup (memanggilnya) selain Allah, jika kamu memang orang-orang yang benar”. (QS. Hud [11]: 13).
Jangankan sepuluh surat, kata Allah kemudian, satu surat pun dijamin tidak akan bisa meniru al-Qur’an. Kenapa? Karena al-Qur’an bukan buatan nabi Muhammad, melainkan firman Allah yang sempurna.
Tuduhan Orientalisme Terhadap Al-Qur’an Makna Ummi Bagi Rasulullah SAW
Makna Ummi Bagi Rasulullah SAW – Pada tahun 1927, Alphonse Mingana, pendeta Kristen asal Irak dan mantan guru besar di Universitas Birmingham, Inggris, mengumumkan bahwa “sudah tiba saatnya sekarang untuk melakukan studi kritis terhadap al-Qur’an sebagaimana telah kita lakukan terhadap kitab suci Yahudi yang berbahasa Ibrani-Arami dan kitab suci Kristen yang berbahasa Yunani.
Mengapa orientalis-missionaris yang satu ini menyeru demikian? Seruan semacam ini dilatarbelakangi oleh kekecewaan sarjana Kristen dan Yahudi terhadap kitab suci mereka dan juga disebabkan oleh kecemburuan mereka terhadap umat Islam dan kitab suci al-Qur’an. Perlu di ketahui bahwa mayoritas ilmuwan dan cendekiawan Kristen sudah lama meragukan otentisitas bible. Mereka terpaksa menerima kenyataan pahit bahwa bible yang ada di tangan mereka sekarang ini terbukti bukan asli alias palsu. Terlalu banyak campur tangan manusia di dalamnya, sehingga sukar untuk dibedakan mana yang benar-benar wahyu dan mana yang bukan.
Tentu saja Mingana bukan yang pertama kali melontarkan seruan semacam itu, dan ia juga tidak sendirian. Jauh sebelum dia, tepatnya pada tahun 1834 di Leipzig (Jerman), seorang orientalis bernama Gustav Flugel menerbitkan ‘mushaf’ hasil kajian filologinya. Naskah yang dibuatnya itu ia namakan Caroni Textus Arabicus. Kemudian muncul Theodor Noldeke yang ingin merekontruksi sejarah al-Qur’an dalam karyanya Geschichte des Qorans (1860).
Kemudian pada tahun 1937 datang Arthur Jeffery yang berambisi membuat edisi kritis al-Qur’an, mengubah Mushaf Utsmani yang ada dan menggantikannya dengan mushaf baru. Orientalis asal Australia yang pernah mengajar di American University Cairo dan menjadi guru besar di Columbia University ini, ingin merestorasi teks al-Qur’an berdasarkan kitab al-Mashahif karya Ibn Abi Dawud as-Sijistani yang ditengarai merekam bacaan-bacaan dalam beberapa mushaf tandingan, (rival codices). Jeffery bermaksud meneruskan usaha Gotthelf Bergstrasser dan Otto Pretzl, dua orientalis Jerman yang pernah berjibaku mengumpulkan foto lembaran-lembaran naskah (manuskrip) al-Qur’an dengan tujuan membuat edisi kritis al-Qur’an. Proyek tersebut gagal karena semua arsipnya di Munich hancur musnah tertimpa bom saat Perang Dunia Kedua berkecamuk.
Pendapat para orientalis Yahudi dan Kristen yang sejalan dengan pendapat Nasaruddin Umar dalam memberikan definisi “ummi” untuk Nabi Muhammad saw.
Menurut mereka, tidak mungkin Nabi Muhammad tidak dapat membaca dan menulis. Theodore Noldeke, misalnya, menyatakan bahwa kata “ummi” dalam al-Quran merujuk kepada sebuah masyarakat tanpa wahyu. Hirshfeld juga menyatakan, Muhammad bisa membaca dan menulis, dan mengerti aksara Ibrani ketika berkunjung ke Syiria.
Menegaskan pengaruh agama Yahudi kepada Muhammad, Horovitz berpendapat, bahwa Muhammad salah paham ketika mendengar kata “ummi” dari Yahudi di Madinah. Menurut Horovitz, Muhammad menyebut dirinya sebagai “ummi” (dalam surat Al A’raf ayat 157 dan 158) karena Muhammad berasal dari Arab, bukan dari Israel.
Horovitz manafsirkan kata “ummi” dalam ayat tersebut sebagai “ummotha-olam”, yakni masyarakat yang tidak diberi kitab, yang berbeda dengan umat terdahulu yang diberi kitab.
Sanggahan Para Ulama’ Terhadap Hal tersebut, Ummi
Makna Ummi Bagi Rasulullah SAW – Kata Nasaruddin, profesor Ilmu Tafsir di Universitas Islam Negeri Jakarta, “Saya cenderung memahami kata ummi dalam arti pribumi, mengingat suku dan keluarga nabi Muhammad tidak termasuk golongan pembaca kitab.
Menurut Nasaruddin Umar, “ummi” bukanlah berarti “tidak dapat membaca dan menulis”, sebagaimana yang dipahami para ulama Islam selama ini. Tapi, tulisnya, makna “ummi” yang benar ialah yang disebutkan dalam bahasa Ibrani, yakni “pribumi” (native).
Yang mashur sebagai pembaca kitab (qari) pada waktu itu ialah komunitas Yahudi dan Nashrani. Mereka bukan warga native di dunia Arab. Jika pemahaman kita seperti ini, Nabi Muhammad tentu bukan sosok yang belum menganut faham salah satu kitab suci. Karenanya ia dipilih Tuhan untuk menjadi Nabi dan Rasul. Orang secerdas Nabi sulit dipahami sebagai orang yang buta huruf atau orang yang tidak diperkenankan untuk membaca dan menulis.”
Demikian ulasan singkat seputar Makna Ummi Bagi Rasulullah SAW, semoga bermanfaat.
Sumber: rangkumanmakalah.com
from islamidia.com http://ift.tt/2hUlmvM
Post a Comment