Ternyata, Tere Liye Dulu Sering Nyinyirin Fatwa MUI, dan Bertobat Gara-gara Ini
Dulu, waktu saya masih muda, saya suka nyinyir dengan Majelis Ulama Indonesia. Usia saya waktu itu berbilang mahasiswa, baru lulus. Saya nyinyir sekali setiap MUI merilis fatwa.
Hingga pada suatu hari, saking nyinyirnya, ada teman yang menegur (karena dia mungkin sudah tidak tahan lihat saya nyinyir dimana-mana), “Bro, jangan-jangan, kitalah yang ilmunya dangkal. Bukan MUI-nya yang lebay. Tapi kitalah yang tidak pernah belajar agama sendiri.”
Muka saya langsung merah padam, tidak terima. Ini teman ngajak bertengkar. Enak saja dia bilang ilmu saya dangkal. Tapi sebelum saya ngamuk, teman saya lebih dulu bilang dengan lembut, “Jangan marah, bro. Mending pegang kertas dan pulpen gue, nih. Mari kita daftar hal-hal berikut ini. Kalau sudah didaftar, nanti boleh marah-marah.” Baik. Karena dia ini teman baik saya, maka saya nurut, ambil pulpen dan kertasnya.
“Pertama, kapan terakhir kali kita baca Al-Qur’an lengkap dengan terjemahan dan tafsirnya?” Saya bengong.
“Tulis saja, bro. Kapan?” Saya menelan ludah. Berusaha mengingat-ingat.
“Kedua, kapan terakhir kali kita baca kitab hadist, sahih bukhari, sahih muslim, dibaca satu persatu, dipelajari secara seksama?” Saya benar-benar terdiam.
“Ketiga, kapan terakhir kita duduk di kajian ilmu yang diisi guru-guru agama? Ayo, bro ditulis saja, kapan terakhir kali?” Saya benar-benar kena skak-mat. Termangu menatap kertas di atas meja.
“Ayo bro, ditulis. Kapan? Apakah kita tiap hari, tiap minggu telah melakukannya? Apakah baru tadi pagi kita baca tafsir Al-Qur’an? Baru tadi malam, baca kitab-kitab karangan Imam Ghazali, dan sebagainya?” Saya benar-benar jadi malu.
“Nah, itulah kenapa jangan-jangan kita suka nyinyir dengan fatwa MUI, suka nyinyir dengan ulama. Karena kita merasa sudah paling berpengetahuan, paling paham tentang agama, tapi kenyataannya, kita cuma modal pandai bicara saja, pandai bersilat lidah.
Belum lagi kalau ditanya: apakah kita sudah rajin sh0lat 5 waktu, apakah kita sudah rajin puasa Senin-Kamis, shalat Tahajud, jangan-jangan kita malah tidak pernah. Bro, kita nyinyir dengan MUI, karena kita tidak suka saja, sentimen dengan mereka, dangkal pengetahuannya.
Saat kita belajar betulan ilmu agama, barulah kita nyadar, kita sebenarnya justeru sentimen dengan Al-Qur’an, dengan Nabi, dengan agama sendiri. Karena yang disampaikan oleh MUI itu, semua ada di kitab suci dan hadist.”
Demikianlah kisah masa lalu itu. Tidak perlu serius bacanya, anggap saja fiksi masa lalu Tere Liye. Fahimna. Pakai F, bukan pakai P.
Tere Liye
Sumber: dakwahmedia.net
from islamidia.com http://ift.tt/2hXvbKw
Post a Comment