Ternyata Warga Eropa Pernah Mengungsi ke Suriah
Sejak perang saudara meletus di Suriah lima tahun yang lalu, jutaan pengungsi telah berusaha menyeberang ke wilayah yang aman di Eropa melalui darat dan laut, termasuk melalui Turki dan daerah Mediterrania. Sejarah mencatat, seperti dikutip dari PRI’s The World pada Jumat (1/7), ternyata para pengungsi Eropa pernah mengalami hal yang sama pada 70 tahun yang lalu.
Mereka melakukan perjalanan sampai ke wilayah Suriah yang pada saat itu masih belum dilanda konflik peperangan. Kejadian mengungsinya warga Eropa dengan jumlah yang tidak sedikit tersebut terjadi pada puncak Perang Dunia ke-II, dimana Timur Tengah dan Badan Bantuan Pengungsi (MERRA) membangun kamp di Suriah, Mesir dan Palestina. Kamp tersebut kemudian ditempati oleh puluhan ribu orang dari seluruh Eropa untuk mencari perlindungan.
MERRA adalah organisasi yang memfasilitasi pengungsi di seluruh dunia yang beroperasi sebagai kolaborasi dari beberapa pemerintah, pejabat militer dan organisasi bantuan domestik dan internasional. Kelompok kesejahteraan sosial termasuk Internasional Migration Service, Palang Merah, Yayasan Timur Dekat dan Save the Children Fund semua bersatu membantu MERRA hingga kemudian PBB mengambil alih tugasnya. Organisasi ini memberikan informasi demografi Perang Dunia II di kamp-kamp pengungsi di Timur Tengah.
Berita bantuan kamp tersebut juga dikuatkan oleh keterangan dari database Dinas Sosial Internasional Cabang Amerika serta Arsip Kesejahteraan Sosial di University of Minnesota.
Pada bulan Maret 1944, para pejabat yang bekerja di MERRA dan Dinas Migrasi Internasional (kemudian disebut Dinas Sosial Internasional) menerbitkan laporan tentang keadaan kamp-kamp pengungsian untuk memperbaiki kondisi hidup para pengungsi di sana.
Sebagian besar pengungsi Eropa tersebut berasal dari Bulgaria, Kroasia, Yunani, Turki dan Yugoslavia. Para pengungsi ini harus menyesuaikan diri dengan kehidupan di dalam kamp-kamp bersama pengungsi lain yang berasal dari Timur Tengah selama Perang dunia II.
Beberapa kamp di Mesir, Palestina dan Suriah harus mendaftar terlebih dahulu kepada petugas kamp dan menerima kartu identifikasi kamp yang dikeluarkan secara resmi. Kartu identitas tersebut harus mereka bawa kemanapun mereka pergi. Kartu ini berisi nama pengungsi, nomor identifikasi perkemahan, informasi tentang mereka pendidikan dan pekerjaan di masa lampau serta keahlian khusus yang mereka miliki.
Sebuah catatan arsip menunjukkan MERRA telah mengawasi lebih dari 40.000 pengungsi, sebagian besar wanita dan anak-anak di kamp-kamp pengungsi di Timur Tengah dan Afrika Utara pada Juli 1944. Pada tahun tersebut, beberapa pengungsi dari Yunani tiba di kamp Aleppo yang baru saja datang sangat berharap pertolongan medis atas akibat perang yang melanda.
Ketika pengungsi Eropa di kamp Aleppo tersebut telah diobati, mereka kemudian bebas menikmati indahnya kota Aleppo saat itu yang berarsitektur Eropa. Mereka mengunjungi toko-toko untuk membeli perlengkapan sehari-hari, menonton film di bioskop dan melakukan kegiatan lain untuk mengusir kebosanan mereka. Para pengungsi juga diizinkan untuk menghabiskan waktu setiap hari untuk mandi di Laut Merah yang berada di dekat kamp tersebut.
Mereka merasa sangat beruntung bisa memiliki uang untuk bisa membeli kacang, buah zaitun, minyak, buah, teh, kopi dan lain-lain. Pengungsi juga diberikan kebebasan untuk bekerja. Ada yang bekerja sebagai juru masak, pembersih dan tukang sepatu.
Sebagian pengungsi lainnya bisa bekerja sebagai penjaga toko, pembersih, penjahit, magang, tukang batu, tukang kayu atau tukang pipa. Sedangkan para sarjana bisa menjabat sebagai kepala sekolah atau mandor. Perempuan diberikan fasilitas untuk melakukan pekerjaan rumah tangga tambahan seperti menjahit, laundry dan membuat makanan.
Penghuni kamp juga memiliki kesempatan untuk menerima pelatihan kejuruan. Di wilayah El Shatt dan Musa Wells, pengungsi Yugoslavia dan Yunani dilibatkan dalam program pelatihan keperawatan, anatomi, fisiologi, pertolongan pertama, kebidanan, pediatri serta aturan militer.
Pejabat MERRA mengatakan bahwa anak-anak di kamp-kamp pengungsi tersebut memiliki rutinitas seperti biasa seperti sebelum mengungsi. Pendidikan merupakan salah satu bagian penting dari rutinitas tersebut, hingga mereka mendatangkan guru dari luar untuk mengajari para siswa tersebut.
Bahkan di Nuseirat, seorang pengungsi yang merupakan seorang seniman membuat banyak lukisan dan dipasang di seluruh dinding sekolah di dalam kamp hingga membuat ruang kelas menjadi cerah dan ceria.
Sumber: bersamaislam.com
from islamidia.com http://ift.tt/2hSUsp4
Post a Comment